Headlines News :
Home » » Inilah Gaya Punk Papan Atas

Inilah Gaya Punk Papan Atas

Written By Unknown on Selasa, 30 April 2013 | 16.45

Jakarta | Acehtraffic.com - Peran Sid Vicious di Sex Pistols, grup musik punk asal London era 1970-an, memang hanya sebagai bassis. Tapi justru pria pemilik nama lengkap Jhon Simon Ritchie inilah yang menjadi ikon kemandirian dan penolakan gerakan punk terhadap sistem. Malcolm McLaren, manajer Sex Pistols, pernah menyebut sang vokalis Johnny Rotten sebagai suara dari punk. “Vicious adalah sikap punk.” Lihat gaya rambut acak-acakan dan pakaiannya yang begitu vicious: ganas. Setelan kaus oblong compang-camping dan jins amburadul sering dipadunya dengan jaket kulit hitam.

Suatu ketika, gaya tersebut bertemu dengan punk New York yang dipelopori band The Ramones. Cetakan kalimat yang menyimbolkan perlawanan pada kaus punkers Negeri Abang Sam muncul di Inggris berupa simbol-simbol seperti swastika Nazi atau juga Ratu. Kelak, gaya berpakaian tersebut bertahan menjadi “seragam” ahli waris gerakan dan musik punk dunia. Polanya itu-itu saja dan bahkan gampang ditiru oleh non-punkers sekalipun.

Kini, setelah empat dekade menjadi simbol perlawanan, busana punk pun berkembang—jika tak ingin menyebutnya meninggalkan ideologi awal mereka. Gaya punk menjadi komoditas industri mode. Gaya mereka ditiru dan dijual oleh banyak rumah mode dunia—yang justru amat kapitalistik dan anti-ideologi anarkisme dari punk.

Fenomena itulah yang ditangkap oleh The Costume Institute, departemen koleksi kostum Metropolitan Museum of Art, New York. Pameran musim semi mereka yang akan dimulai awal bulan depan mengambil tema Punk: Chaos to Couture. Bisa ditebak, perhelatan bergengsi itu--karena selalu menarik pengunjung banyak bintang ternama di Amerika Serikat--memamerkan berbagai aksesori dan busana punk dari era Sex Pistols hingga kini.

Beberapa koleksi busana bergaya punk rancangan rumah mode dunia didatangkan ke New York, seperti T-shirt bertabur paku dari Eddie Borgo, sifon dan mantel kulit Givenchy, karya Dolce & Gabbana, serta gaun tartan berkorset Vivienne Westwood. Yang terakhir ini adalah pemilik sah copyright busana punk—seandainya punkers mempercayai copyright. Dialah rekan McLaren dalam mengelola Sex Pistols, dia pula yang mendandani band itu pertama kali.

Penyelenggara berharap bisa menghubungkan sisi kerakyatan, estetika “Do It Yourself” sebagai etika punk, dan visi individual para desainer. “Kami mencoba menyorot lebih intelektual, sisi artistik punk,” kata Andrew Bolton, kurator pameran ini, seperti dikutip The New York Times, Jumat lalu.

Ide menyejajarkan pakaian punk era 1970-an dengan karya adibusana mungkin tak ada salahnya. Tapi, persoalannya, punk punya semangat sendiri. Kostum mereka menyuarakan anarki—dengan penodaan terhadap simbol-simbol atau sengaja memperburuk konstruksi busana. Ia bukan sekadar gaya berpakaian. Ia juga statement ideologis.

Itulah sebabnya, belum juga digelar, pameran tersebut memancing perdebatan. Para pencetus punk pun menyebut acara yang disponsori oleh Vogue ini sebagai “ajaran sesat”. “Menghadirkan para desainer adibusana, apa yang harus mereka lakukan dengan punk?” kata Legs McNeil, yang merupakan pendiri majalah Punk pada 1975. "Jadi, orang kaya bisa pergi ke area kumuh? Ayolah, yang benar saja. Ini adalah fantasi masturbasi Anna Wintour dan Vogue.”

McNeil, yang juga seorang sejarawan musik rock, menuding para penyelenggara berupaya mengkooptasi punk yang selama ini tak bisa mereka miliki. “Mereka mencoba mengubahnya menjadi sesuatu yang membosankan.” Ada benarnya!
| AT | M | Tempo |
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Acehtraffic Template | Baharsj
Copyright © 2013. Aceh Zone - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Baharsj
Proudly powered by Blogger