Headlines News :
Home » » Anggota TNI Berpolitik?

Anggota TNI Berpolitik?

Written By Unknown on Rabu, 12 Juni 2013 | 20.16


Memang judul sengaja dibuat terkesan menggugah pembaca agar mengetahui fakta kebenaran dari tindakan segelintir anggota TNI berpolitik. Bentuk tindakan politik melalui jalur ikut berpartisipasi menjadi kepala daerah dan di pemilu menjadi anggota dewan.

Tentunya muncul tanda tanya, apakah dibenarkan dan diperboleh oleh regulasi yang mengaturnya. Sedangkan kita ketahui sejarah telah mencatat bahwa institusi TNI dan anggotanya pernah berpolitik praktis pada era orde baru. Lantas alasan utama apa menyebabkan anggota TNI berhasrat kembali masuk kegelanggang politik?

Terlebih dahulu menjelaskan perihal posisi pemikiran saya terhadap isi di dalam tulisan. Posisi logika saya menolak kehadiran anggota TNI berpolitik kembali. Dikarenakan berpegangan terhadap regulasi yang dimandatkan melalui Undang-undang No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Diperkuat lagi dengan TNI dan Polri (Tap MPR No.VI/2000), pengaturan tentang peran TNI dan peran Polri (Tap MPR No.VII/2000), Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

Namun kalau pun ada pembenarannya maka akan dicari celah menggunakan Pasal 59 ayat (5) huruf g UU No 32 Tahun 2004 jo UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa calon Kepala Daerah yang berasal dari PNS, TNI dan POLRI wajib menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Dari pengaturan hukum untuk TNI saja tidak konsisten apalagi personal anggotanya.

Bagi penilaian pribadi saya, ketika anggota TNI berpolitik pada momentum pilkada dan pemilu, maka dirinya telah sah melanggar regulasi yang dimandatkan kepada dirinya. Prinsip profesionalisme juga mensyaratkan TNI untuk tidak berpolitik. Realisasinya, UU TNI tidak hanya harus mencantumkan dan menegaskan bahwa TNI tidak boleh berpolitik tetapi juga harus membongkar semua doktrin TNI yang menjadi dasar dan legitimasi untuk berpolitik.

Misalkan saja membongkar konsep tentang tentara rakyat yang menjadi justifikasi TNI untuk berpolitik. Disamping itu, UU TNI tidak boleh memberikan ruang lagi bagi TNI untuk mengembalikan peran kekaryaannya atau peran sosial politik yang dahulu dikenal dengan konsep dwifungsi TNI. Gagasan menerapkan prinsip profesionalisme dalam UU TNI adalah syarat mutlak membentuk prajurit yang profesional.

Jika tetap masuk ke ranah politik baik pilkada dan pemilu maka telah mengingkari nilai-nilai profesionalisme dari seorang anggota TNI. Prinsipnya anggota TNI tunduk dan diatur oleh undang-undang, dikarenakan mereka adalah alat perang yang berfokus kepada tugasnya menjaga pertahanan dari serangan negara lain maupun kegiatan mengancam stabilitas negara seperti teroris.

Baiklah saya menjawab pertanyaan di paragraf awal pembuka, faktor penyebab anggota TNI aktir terjun ke politik dikarenakan tergiur akan jumlah gaji serta pengelolaan anggaran negara yang besar, ingin mengembalikan eksistensi dari pengelolaan negara melalui anggota TNI. Selain faktor itu, keterlibatan anggota TNI berpolitik dikarenakan ketidaktauan atas fungsi dan perannya.

Maksudnya, jikalau anggota TNI memahami fungsi dan peran maka keinginan berpolitik tidak akan muncul. Penyebab lainnya, bahwa ada keinginan mengembalikan kejayaan di era orde baru. Bahasa halusnya anggota TNI terjebak memorial masa lalu. Jangan sampai muncul sterotif kesombongan bahwa anggota TNI yang paling cocok menjadi kepala daerah karena terkait kajayaan di masa orde baru.

Banyaknya penyebab tidak terlepas dari lemahnya kontrol dan tindakan tegas dari Departemen Pertahanan maupun institusi TNI sendiri. Faktanya secara nyata bahwa Departemen Pertahanan masih kurang maksimal menerapkan sistem mekanisme kontrol untuk mengontrol sepenuhnya anggota TNI dalam kebijakan maupun perumusan operasional lapangan, termasuk kebijakan berpolitik. Hanya saja, tumpang tindih regulasi atas fungsi dan peran TNI yang menimbulkan tafsiran berbeda-beda.

Tentunya ini pun menjadi celah yang menguntungkan bagi anggota TNI yang berkeinginan masuk ke panggung politik. Untuk itu, jika melenceng dari tugas-tugas profesionalisme anggota TNI, haruslah dilaporkan kepada lembaga atasannya (Departemen Pertahanan dan Presiden). Ini penting agar, peran-peran politik lembaga pertahanan negara benar-benar bisa diletakkan pada posisi yang benar.

Namun ketika  kita letakan pada kerangka teori pemikiran dari Nasikun (2001:78) dari tulisannya berjudul”Militerisme dan Politik Kesukuan” diterbitkan oleh Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.

Dirinya mengatakan, masuknya TNI ke politik dikarenakan hadirnya politik kesukuan yang di sistematiskan dalam kendali militer yang memiliki kepentingan di ranah politik. Menariknya dari pemikiran Todung Mulya Lubis disebuah Jurnal Hukum dan Pembangunan (2009:61) Fakultas Hukum Indonesia. Dirinya mengatakan tidak ada relasi kuat keterlibatan TNI ke ranah politik bagian dari hak asasi manusia.

Karena anggota TNI dikhususkan karena mereka alat negara. Tetapi hak ikutserta pada pilkada bisa dilakukan ketika sudah tidak berstatus lagi sebagai anggota TNI. Bagi pemikiran saya, anggota TNI terlibat pada pilkada harus dikaji pada tataran sosiologi, filosofi, profesionalisme, yuridis, dan aksiologisnya. Baru simpulkan apakah boleh atau tidak anggota TNI masuk ke arena pilkada.

Posisi pemikiran saya pengaturan tentang anggota TNI tidak boleh menjadi anggota dan pengurus partai politik di maksudkan untuk menjaga netralitas tersebut. Dengan demikian, anggota TNI dapat memberikan pelayanan pertahanan negara kepada masyarakat secara profesional.

Berdasarkan perspektif tersebut, posisi personal anggota TNI ikutserta di pilkada selalu diwarnai oleh kepentingan personal, institusi, aktor politik penguasa. Perjalanan politik bangsa menunjukan kecenderungan yang sangat kuat bahwa militer merupakan instrumen politik yang sangat efektif yang dibangun oleh sebuah rezim guna membesarkan dan mempertahankan kekuasaan yang ada.

Berbicara fakta masih banyak anggota TNI ikutserta di pilkada dibuktikan pada pilkada dan permainan di pemilu. Hasil tracking media, seperti; Kalimantan Barat Armyn Alianyang masih berstatus anggota TNI aktif (http://suarakalbar.com, 26 Sep 2012). Di Provinsi Aceh, pilkada pada 2013, anggota TNI aktif ikutserta pada pilkada Aceh Selatan. Belum lagi kasus keterlibatan pada pemilu tahun 2006, dimana temuan Pemantauan Uni Eropa (UE) di pilkada 2006.

Temuan lainnya sejumlah LSM dengan membentuk Posko Bersama Masyarakat Sipil Pantau HAM pada pemilu Aceh serta menggelar pernyatan sikap pada 7 April 2009 oleh komponen masyarakat sipil (KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM, ACSTF, LINA, Beujroh, Katahati Institute, Aceh Institute, GeRAK Aceh, AJMI, Radio Komunitas Suara Perempuan, PCC, FAA, SPKP HAM, dan Care Aceh). Dari hasil pantau mereka, disebutkan terjadi penambahan sebanyak lima pos aparat di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Jaya (www.kontras.org: 9 April 2009). Apalagi tahun 2014 ada beberapa anggota TNI berpotensi maju menjadi caleg.

Mari kita tinjau dari suduh pandang pembinaan bahwa anggota TNI ikutserta di ranah pilkada dan pemilu menunjukan lemahnya pembinaan terhadap doktrin, fungsi dan perannya berdasarkan amanah konstitusi yang berlaku di Indonesia. Secara kepemimpinan memberikan contoh buruk kepada bawahannya,  bilamana pimpinannya ikut dipesta demokrasi yaitu pilkada. Jangan salahkan jikalau anak buahnya masuk dalam pusaran politik dengan ikutserta pada pilkada.

Solusi mengatasi masih maraknya anggota TNI ikut pilkada, menurut saya diperlukan sebuah mekanisme aturan yang jelas dan terperinci. Selanjutnya diberikan sanksi bagi yang melanggar seperti penurunan pangkat, pengurangan tunjangan, tidak penerima gaji selama beberapa bulan ke depannya.

Kalaupun diberikan peluang melalui aturan bahwa TNI bisa ikut pilkada maka dibutuhkan mekanisme kontrol dari kelompok eksternal dan pelaksana pilkada terhadap bentuk-bentuk kecurangan yang dilakukan anggota TNI yang ikut pilkada.

Rekomendasi dari tulisan ini mengajak institusi TNI dan Pemerintah Indonesia bersama Dewan Perwakilan Rakyat duduk bareng guna membahas tindakan dari anggota TNI ikut berpartisipasi pada pilkada.

Tujuan utama mencari solusi serta memberikan kepastian dari segi hukum. Hal penting dalam rekomendasi yang perlu dipertimbangkan yaitu memperbaiki kese- jahteraan anggotanya utamanya yang berpangkat rendah.

Kesejahteraan dapat menghindarkan anggota TNI berpikir politik. Peningkatan kesejahteraan ini salah satunya dapat dilakukan dengan cara mengurangi perekrutan anggota TNI, menambahkan gaji, tetapi tergantikan oleh teknologi.

Dengan pengurangan rekrutmen anggota TNI, maka anggaran yang tidak terpakai dapat dialihkan pengalokasiannya untuk teknologi pertahanan keamanan serta untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.[] 

*Penulis Aryos Nivada- Pengamat Politik dan Keamanan Aceh
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Acehtraffic Template | Baharsj
Copyright © 2013. Aceh Zone - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Baharsj
Proudly powered by Blogger