Dewasa ini kita melihat banyak sekali terjadi kenakalan-kenakalan remaja, seperti tawuran, pergaulan bebas, narkoba, dan lain sebagainya. Hal ini disebabkan karena rendahnya moral atau akhlak. Sangat disayangkan bila hal ini terus terjadi dan tidak dapat diantisipasi dengan se-segera mungkin.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kenakalan remaja, salah satunya karena peranan sekolah belum mampu memberikan yang terbaik untuk peserta didik, sekolah belum mampu mengajarkan bagaimana bersikap, bagaimana berakhlak dengan baik. Ini adalah salah satu faktor yang memegang peran penting untuk menciptakan manusia yang berbudi luhur.
Sekolah merupakan tempat dimana anak manusia dibimbing, dibina, dan diajarkan hal-hal yang baik termasuk akhlak agar berguna kelak dimasa yang akan datang. Akhlak memiliki posisi diatas ilmu, sesuai dengan hadis Nabi SAW “Al adabul faukal ilmu” artinya: “adab itu diatas ilmu”. Hal ini memiliki makna bahwa adab atau akhlak memiliki posisi paling tinggi diatas ilmu. Tidak akan berarti ilmu seseorang bila tidak disertai dengan akhlak yang tinggi pula.
Sehingga tidak heran jika kita menemukan lulusan-lulusan perguruan tinggi yang notabennya mereka memiliki ilmu pengetahuan yang tinggi, tetapi memiliki akhlak yang sedikit, tidak berbanding lurus dengan ilmu yang dimilikinya. Padahal kita sering mendengar istilah ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk, Namun yang terjadi saat ini sebaliknya, semakin berilmu semakin sombong, banyak diantara mereka yang sombong dengan predikat kelulusan, gelar yang diperoleh dari perguruan tinggi. Semakin tampak kesombongan jika kita terkadang salah menulis gelar akademik pada undangannya, kita langsung menuai teguran dari pemilik gelar tersebut.
Kita sering pula menemukan hal-hal seperti diatas pada saat terkadang salah menulis gelar akademik dosen pembimbing pada lembaran pengesahan skripsi, tesis maupun disertasi, sehingga harus diganti dengan lembaran gelar yang benar, kalau tidak, maka tidak akan ditanda tangan pada lembaran tersebut. Kenakalan-kenakalan akademik yang telah terjadi secara turun temurun seperti ini hendaknya perlu diganti dengan paradigma ilmu padi, ‘semakin berisi semakin merunduk’.
Kenakalan akademik seperti diatas telah mengubah paradigma pendidikan kepada kesombongan, tidak lagi pada hakikat menciptakan manusia yang berbudi luhur, dan berakhlak mulia. Maka sangat ironi jika banyak tawuran yang dilakukan oleh para pencari ilmu (mahasiswa) di perguruan tinggi. Mereka yang notabennya para penggiat ilmu pengetahuan. Namun mereka belum memahami hakikat pendidikan yang sesungguhnya. Sejatinya pendidikan adalah mengubah pola perilaku manusia dari perilaku tidak baik kepada perilaku yang baik disertai ilmu yang bermanfaat.
Mengapa perlu karakter ?
Berbicara masalah karakter tidak bisa terlepas dari masalah kepribadian seseorang, meskipun keduanya tidak sama. Namun dapat membawa seseorang menjadi pribadi yang mulia. Karakter tidak dapat diwariskan, tidak dapat dibeli dan tidak bisa ditukar dengan sesuatu apapun.
Karakter itu harus dibangun dan dikembangkan setiap insan secara terus menerus melalui suatu proses pendidikan yang berkelanjutan. sehingga setiap orang bertanggung jawab atas karakternya sendiri. Setiap orang mempunyai control kendali terhadap karakternya, dalam artian bahwa seseorang tidak dapat menyalahkan orang lain atas baik buruknya karakter yang dimiliki, karena tugas dan tanggung jawab membangun atau mengembangkan karakter adalah tanggung jawab personal.
Kepribadian seseorang bukan karakter, karena setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda-beda. Setiap kepribadian itu memiliki kelemahan dan kelebihan satu sama lain, sehingga setiap manusia yang belajar melalui proses pendidikan untuk mengatasi dan memperbaiki kelemahannya akan memunculkan kebiasaan positif yang baru, maka inilah yang disebut dengan karakter. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, adab, atau ciri kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai nilai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan berpikir, bersikap, dan bertindak. Oleh karena itu, pendidikan karakter memiliki peran penting dalam mebangun dan mengembangkan kepribadian siswa menjadi lebih baik atau berakhlakul karimah.
Menurut Fasli Jalal pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah lebih menekankan aspek kejujuran, kerja keras, menghargai perbedaan, kerja sama, toleransi dan disiplin (Kompas, 12/02/2013). Pendidikan karakter merupakan pemberian pandangan terhadap berbagai hal mengenai nilai-nilai hidup, seperti kejujuran, kepedulian, tolong menolong dan lain-lainnya. Maka sesuai dengan wacana kurikulum 2013 yang berupaya mengintegrasikan nilai-nilai karakter pada semua pelajaran disekolah. Setiap guru mata pelajaran harus mampu memberikan pesan moral dari masing-masing materi yang disampaikan kepada siswa. Tidak terkecuali mata pelajaran matematika, biologi, kimia, fisika, semuanya harus mampu membawa siswa kepada pesan moral. Dimana sebelumnya pesan moral hanya diperoleh pada pelajaran agama dan budi pekerti.
Disamping itu, pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu dari pendidik kepada peserta didik, tetapi lebih utamanya adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi lebih baik, lebih sopan dalam tataran etika maupun estetika dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan saat ini lebih mengedepankan akademiknya dan mengesampingkan pendidikan moral yang membentuk karakter seseorang. Yang terjadi sekarang, banyak perilaku anak didik yang kurang bisa menempatkan diri dalam bersikap maupun bertutur kata. Lebih ironis lagi, mereka bahkan tidak mau menghormati orang tua, baik guru maupun sesama. Itu mengapa pendidikan karakter sekarang banyak digencarkan, tujuannya untuk memperbaiki bahkan menanggulangi merosotnya moral generasi muda sebagai penerus bangsa.
Pendidikan merupakan proses membantu generasi muda untuk menjadi manusia yang utuh dan penuh, menyangkut semua aspek kehidupan manusia seperti kognitif, afektif, social, moral, emosi, estetika, agama, kepribadian dan fisik (Paul Suparno, 2008). Semua aspek itu perlu dikembangkan melalui pendidikan karakter. Sebenarnya pendidikan dari dulu selalu menyertakan pendidikan karakter. Guru dalam mengajar juga menanamkan daya juang, mengajar siswa untuk menghargai orang lain, melatih kejujuran, kedisiplinan, dan lain-lain. Namun, akhir-akhir ini sekolah formal agaknya terlalu menekankan segi kognitif saja sehingga mengesampingkan pendidikan nilai.
Sekarang, pendidikan karakter semakin penting dan mendesak karena berbagai macam situasi yang melanda bangsa ini, seperti pengaruh globalisasi (konsumerisme,narkoba), merosonya moral (konflik antarsuku, agama, ras), pasar bebas, sempitnya lapangan kerja, kepekaan social berkurang dan individualisme. Pendidikan moral menjadi sangat penting dilaksanakan, walaupun dianggap di luar tujuan pendidikan saat kecerdasan merupakan ukuran keberhasilan seseorang. Kepintaran dan kecerdasan intelektual saja tidak cukup tanpa dilandasi nilai moral. Ketiadaan nilai moral itulah yang menyebabkan terjadinya berbagai kekacauan. Idealnya, pendidikan karakter diajarkan secara sinergis lewat semua pelajaran, melalui orang tua, media dan masyarakat. Tanpa adanya kerja sama dengan semua pihak maka akan sulit mendapatkan hasil yang memuaskan.
Kendala yang dihadapi
Memang disadari bahwa dalam mempraktekkan tuntutan yang telah diwajibkan oleh pemerintah kepada lembaga sekolah agar semua guru dapat memberikan pesan moral pada semua mata pelajaran memiliki banyak kendala, salah satunya karena tidak semua pelajaran bisa ditanamkan nilai-nilai karakter, sebut saja pelajaran kimia.
Katakanlah matematika masih bisa dikaitkan dengan nilai karakter, karena matematika mengajarkan anak untuk berpikir kreatif, logis, sistematis, dan kejujuran. Bagaimana dengan pelajaran yang lain. Apakah semua pelajaran dapat memberikan pesan moral ? Tentunya wacana integrasi karakter bangsa pada setiap pelajaran perlu dilakukan kajian yang mendalam terhadap aspek materi yang dikandung pada masing-masing pelajaran.
Disamping itu ketersediaan buku paket yang mempunyai pesan moral pada masing-masing materi masih terbatas. Kemampuan interpretasi guru terhadap nilai-nilai karakter yang dikaitkan pada tiap-tiap materi antara guru A dengan guru B bisa berbeda-beda dan belum ada contoh nyata sehingga cenderung multitafsir. Hal ini sesuai yang dikatakan oleh Muchlas Samani bahwa “kesulitan penerapan pola pendidikan karakter karena belum adanya contoh yang nyata dari para pengajarnya” (suparlan.com).
Oleh karena itu, ada beberapa alternative yang dapat dilakukan dalam rangka memperkuat kembali karakter dalam pendidikan; Pertama, melibatkan pihak keluarga dalam hal ini orang tua untuk turut serta dalam mengawasi anak. Kedua, perlu adanya pengkajian yang komprehensif tentang nilai-nilai karakter yang dikandung pada setiap materi pelajaran. Ketiga, melibatkan perguruan tinggi islam untuk melakukan kajian terhadap materi-materi yang bisa dikaitkan dengan pesan moral sehingga multitafsir antara guru A dengan guru B dapat diminimalisir. Keempat, memperbanyak buku-buku teks pelajaran yang bermuatan islami. Seperti buku teks pelajaran matematika dapat dikaitkan dengan nilai-nilai islami. Demikian halnya pada pelajaran lainnya.
Semoga dengan pendidikan karakter dapat mengembangkan nilai-nilai kebaikan pada diri peserta didik. Dengan internalisasi nilai-nilai kebajikan pada diri peserta didik, diharapkan dapat mewujudkan perilaku akhlakul karimah sesuai harapan bangsa.
Penulis adalah Mursalin Abdul Manaf, Mahasiswa Candidate Master PPs Universitas Negeri Malang, Jawa Timur yang juga Pemerhati Pendidikan/Alumnus Erasmus Scholarship Italia, 2012.
Posting Komentar